Sistem pertanian organik tidak hanya menawarkan pilihan makanan yang lebih sehat, tetapi juga berfungsi sebagai benteng pertahanan lingkungan yang terstruktur, terutama dalam hal pengurangan polusi. Benteng pertahanan ini didirikan melalui serangkaian aturan ketat yang dikenal sebagai Regulasi dan Sertifikasi Organik. Dua pilar ini—regulasi formal yang ditetapkan pemerintah dan sertifikasi pihak ketiga—menjadi jaminan bahwa praktik pertanian yang dilakukan benar-benar ramah lingkungan. Proses Regulasi dan Sertifikasi Organik ini memaksa petani untuk mengadopsi metode yang secara inheren meminimalkan polusi air, tanah, dan udara, sekaligus memberikan kepercayaan kepada konsumen tentang integritas produk yang mereka beli. Artikel ini akan mengupas bagaimana kerangka hukum dan standar ini bekerja secara praktis di lapangan.
Peran Kunci dalam Pengurangan Polusi Air dan Tanah
Fungsi paling mendasar dari Regulasi dan Sertifikasi Organik adalah melarang penggunaan input kimia sintetis yang menjadi sumber utama polusi pertanian. Peraturan organik, yang di Indonesia tertuang dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6729:2016, secara tegas melarang penggunaan pupuk nitrogen dan fosfor sintetis serta pestisida kimia. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pupuk sintetis adalah penyebab utama pencucian nitrat (nitrate leaching) ke air tanah dan fosfat ke badan air permukaan, yang memicu eutrofikasi. Dengan mencabut izin penggunaan sumber polutan ini, regulasi secara efektif menarik garis batas, memaksa petani untuk beralih ke praktik pengelolaan nutrisi yang berkelanjutan.
Sebagai gantinya, regulasi mengharuskan petani menggunakan pupuk organik (kompos, pupuk hijau, pupuk kandang) dan metode pengendalian hama biologis. Penggunaan pupuk kandang atau kompos, misalnya, harus melalui proses pengomposan matang selama minimal 45-60 hari, yang diawasi oleh Lembaga Sertifikasi Organik (LSO). Tujuannya adalah untuk menstabilkan nitrogen, mengubahnya dari bentuk mudah larut (amonia atau nitrat bebas) menjadi bentuk yang terikat dalam Bahan Organik Tanah (BOT). Hal ini secara otomatis menerapkan mekanisme filtrasi alami yang telah dibahas, di mana tanah bertindak sebagai penyaring efektif yang lambat melepaskan nutrisi, sehingga mengurangi run-off dan pencucian kontaminan secara drastis.
Mekanisme Sertifikasi dan Pelaksanaan Audit
Proses sertifikasi adalah mekanisme penegakan regulasi. Untuk mendapatkan label “Organik,” petani harus melalui masa transisi (konversi) yang ketat, biasanya berlangsung tiga tahun, di mana mereka harus membersihkan lahan dari residu kimia. Setelah itu, lahan diwajibkan menjalani audit tahunan oleh LSO yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Audit ini bersifat sangat detail dan spesifik. Auditor tidak hanya memeriksa catatan pembelian (memastikan tidak ada pupuk kimia yang dibeli), tetapi juga melakukan inspeksi lapangan yang mendalam. Misalnya, pada inspeksi rutin yang dilakukan oleh LSO di Jawa Timur pada tanggal 15 Mei 2025, auditor memeriksa batas lahan untuk memastikan tidak terjadi kontaminasi silang (limpasan pestisida) dari lahan konvensional tetangga. Auditor juga mengambil sampel tanah dan tanaman untuk dianalisis di laboratorium guna menguji adanya residu pestisida atau logam berat. Hasil analisis ini, dengan ambang batas residu yang hampir nol, menjadi benteng terakhir yang memastikan bahwa praktik yang diklaim ramah lingkungan memang benar-benar dijalankan.
Menjamin Integritas Lingkungan dan Konsumen
Pada akhirnya, Regulasi dan Sertifikasi Organik memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas. Ketika konsumen melihat label organik, mereka mendapatkan jaminan yang didukung oleh kerangka hukum dan audit independen bahwa produk tersebut tidak hanya aman, tetapi juga dihasilkan dari sistem yang secara aktif mengurangi polusi udara dan air. Peran LSO dan regulasi pemerintah adalah menarik garis batas yang tidak dapat dilanggar, memastikan bahwa setiap aktivitas pertanian organik berkontribusi positif pada kesehatan tanah dan kebersihan sumber daya alam.